HAJAT SAFAR DALAM TRADISI MASYARAKAT CISOKA - DESA SUKAMAJU

Sebagian masyarakat Sunda menganggap keyakinan di seputar bulan Safar semata-mata adalah mitos yang tidak terbukti kebenarannya. Namun, bagi kalangan lain keyakinan tersebut dipandang memiliki benang merah dengan kearifan lokal (local wisdom). Larangan untuk melakukan aktivitas hajatan di bulan Safar memang tepat karena di bulan ini kondisi cuaca seringkali tidak bersahabat. Larangan ini juga bisa diposisikan sebagai penumbuh kesadaran tentang keseimbangan hidup. Masyarakat diajarkan ada waktunya untuk bersukacita, bergembira dan berpesta serta adakalanya pula mereka harus beristirahat dan bersiap-siap menghadapi cobaan, derita dan dukacita. Dengan begitu akan tumbuh kesadaran hidup yang lebih hakiki. (Ahmad Gibson Al-Busthomi)

Masyarakat Dusun Cisoka Desa Sukamaju masih memegang teguh warisan budaya leluhur/karuhun, setiap memasuki bulan Safar selalu melaksanakan HAJAT SAFAR  yaitu tolak bala dengan banyak memberi sedekah mengandung makna solidaritas sosial, paheuyeuk-heuyeuk leungeun atau saling membantu dan saling menolong. Tatkala di bulan ini tidak ada pesta hajatan, orang-orang miskin yang biasa membantu menjadi kehilangan sumber rezeki. Dengan sedekah mereka kembali mendapatkan topangan hidup.

Simbolisme SAWEN (harupat, jukut palias, daun darangdan, bawang beureum, bawang bodas, cabe beureum) safar pun terpasang disetiap pintu masuk rumah dan kampung, sebagai tanda menghalangi balai masuk, simbolisme yang diterjemahkan ke dalam kehidupan nyata yaitu menolak dari hal yang buruk untuk menjaga hal yang baik, dengan harapan warga masyarakat Dusun Cisoka Desa Sukamaju terhindar dari Bala/Penyakit, demikian dikatakan oleh salah satu Tokoh Masyarakat Cisoka (Bp. Haris Mulyana) yang juga anggota BPD Sukamaju. (MS)